JAMUR SEBAGAI AGEN BIOREMIDIASI

 Jamur sebagai bioremidiasi

8 Manfaat Jamur Shitake yang Sayang untuk Dilewatkan

Fungi (jamur) merupakan jasad eukariot, yang berbentuk benang atau sel tunggal, multiseluler atau uniseluler. Sel-sel jamur tidak berklorofil, dinding sel tersusun dari kitin, dan belum ada diferensiasi jaringan, bersifat khemoorganoheterotrof karena memperoleh energi dari oksidasi senyawa organik dan memerlukan oksigen untuk hidupnya (aerobik). Habitat jamur terdapat pada air dan tanah. Cara hidupnya bebas atau bersimbiosis, tumbuh sebagai saprofit atau parasit pada tanaman, hewan, dan manusia.

Jamur mempunyai peranan yang penting dalam akuakultur. Selain dapat menimbulkan kerugian yaitu sebagai penyebab penyakit pada ikan, jamur juga mempunyai peranan yang menguntungkan dalam akuakultur, misalnya berperan dalam mengatasi masalah penyakit karena mampu menghasilkan antibiotik dan meningkatkan ketahanan tubuh ikan terhadap penyakit (imunostimulan). Dalam bidang pakan berperan dalam fermentasi pakan untuk meningkatkan nilai nutrisi pakan ikan, berperan dalam proses bioremediasi untuk mengatasi masalah lingkungan perairan.

Pada saat ini permasalahan pencemaran lingkungan terutama tanah dan air banyak terjadi disekitar kita. Pestisida yang banyak digunakan oleh petani yaitu pestisida dari golongan karbamat yang terdiri dari karbofuran, karbaril dan aldikarb. Petani di Indonesia menggunakan insektisida karbofuran pada saat sebelum penanaman tanaman dengan cara dibenamkan dalam tanah untuk mencegah hama serangga dan nematoda yang menyerang tanaman. Aplikasi insektisida karbofuran secara intensif pada lahan sawah menyebabkan residu insektisida pada beras dan daging. Mikroba yang sering digunakan dalam proses bioremediasi adalah bakteri, jamur, khamir, dan alga. Dalam proses degradasi, mikroba menggunakan senyawa kimia yang beracun tersebut untuk pertumbuhan dan reproduksi melalui berbagai proses oksidasi.

Salah satu alternatif yang dapat ditempuh yaitu dengan cara bioremediasi. Bioremediasi adalah proses  detoksifikasi bahan kimia berbahaya dalam tanah atau lingkungan lainnya dengan menggunakan mikroorganisme atau tanaman atau enzim mikroba. Salah satu jenis jamur yang sering digunakan adalah Jamur Pelapuk Putih (JPP). JPP dapat digunakan sebagai agena hayati bioremediasi pada berbagai tingkat kontaminasi. Jamur pelapuk putih dapat mendekontaminasi polutan tunggal maupun campuran karena menghasilkan enzim ekstraselular oksidatif seperti lakase dan peroksidase yang dapat memulai degradasi senyawa polimer aromatik kompleks. JPP diketahui dapat digunakan sebagai agen bioremediasi terhadap herbisida. Dari uraian di atas perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana potensi dari jamur pelapuk putih dalam mendegradasi senyawa kimia dari insektisida karbofuran.

Pencemaran sulit dihindari karena hingga saat ini tertib peruntukan lahan atau zonasi kegiatan ekonomi, penanganan limbah dan kesadaran masyarakat akan pentingnya mempertahankan kualitas sumberdaya perairan masih relatif rendah. Pada tingkat pencemaran yang rendah pada danau atau aliran sungai, permasalahan akan dapat diatasi secara alami melalui proses yang dikenal sebagai pulih diri (self purification). Pada proses pulih diri, cemaran organik akan mengalami biodegradasi oleh flora mikroorganisme pada perairan tersebut dan setelah waktu tertentu kondisi perairan pulih seperti semula. Jika kuantitas pencemar dalam badan air cukup tinggi, proses pulih diri tidak dapat berlangsung sempurna, perairan mungkin akan menjadi kekurangan oksigen (anoksik) dan mati akibat tidak ada hewan atau tumbuhan air yang mampu hidup di dalamnya. Pada kasus di mana kuantitas cemaran materi organik tinggi maka dapat dilakukan proses bioaugmentasi dan/atau biostimulasi. Pencemaran perairan dapat menyebabkan gangguan yang serius pada hewan akuatik, antara lain peningkatan frekuensi wabah penyakit, penghambatan aktivitas beragam enzim, gangguan reproduksi, dan sejumlah kelainan fisiologis lainnya.

 

Pada saat ini permasalahan pencemaran lingkungan terutama tanah dan air banyak terjadi disekitar kita. Pestisida yang banyak digunakan oleh petani yaitu pestisida dari golongan karbamat yang terdiri dari karbofuran, karbaril dan aldikarb. Petani di Indonesia menggunakan insektisida karbofuran pada saat sebelum penanaman tanaman dengan cara dibenamkan dalam tanah untuk mencegah hama serangga dan nematoda yang menyerang tanaman. Aplikasi insektisida karbofuran secara intensif pada lahan sawah menyebabkan residu insektisida pada beras dan daging. Mikroba yang sering digunakan dalam proses bioremediasi adalah bakteri, jamur, khamir, dan alga. Dalam proses degradasi, mikroba menggunakan senyawa kimia yang beracun tersebut untuk pertumbuhan dan reproduksi melalui berbagai proses oksidasi.

Salah satu alternatif yang dapat ditempuh yaitu dengan cara bioremediasi. Bioremediasi adalah proses  detoksifikasi bahan kimia berbahaya dalam tanah atau lingkungan lainnya dengan menggunakan mikroorganisme atau tanaman atau enzim mikroba. Salah satu jenis jamur yang sering digunakan adalah Jamur Pelapuk Putih (JPP). JPP dapat digunakan sebagai agena hayati bioremediasi pada berbagai tingkat kontaminasi. Jamur pelapuk putih dapat mendekontaminasi polutan tunggal maupun campuran karena menghasilkan enzim ekstraselular oksidatif seperti lakase dan peroksidase yang dapat memulai degradasi senyawa polimer aromatik kompleks. JPP diketahui dapat digunakan sebagai agen bioremediasi terhadap herbisida. Dari uraian di atas perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana potensi dari jamur pelapuk putih dalam mendegradasi senyawa kimia dari insektisida karbofuran.

Lignin merupakan salah satu polimer fenilpropanoid yang  sulit  dirombak  ("recalcitrant"), oleh  karena strukturnya heterogen dan sangat kompleks. Lebih dari 30% material tumbuhan tersusun oleh lignin, sehingga dapat  memberikan  kekuatan  pada  kayu  terhadap serangan mikroorganisme. Beberapa  kelompok  jamur  dilaporkan  mampu  mendegradasi  senyawa  lignin,  seperti  misalnya  kelompok" White-rotfungi" mampu  menggunakan  sellulosa  sebagai  sumber  karbon  untuk  substrat  pertumbuhannya  dan  mempunyai  kemampuan mendegradasi  lignin. Salah satu jamur yang dapat mendegredasi senyawa lignin tersebut adalah Melanotus sp.

Cemaran minyak bumi tidak hanya terikat oleh partikel tanah saja. Kotoran minyak yang terbentuk dari proses pengumpulan dan pengendapan kontaminan minyak dikenal sebagai limbah oil sludge atau lumpur minyak bumi yang memiliki kandungan kontaminan terbesar yaitu petroleum hidrokarbon, karenanya perlu dilakukan pengolahan oil sludge agar tidak mencemari lingkungan. Berdasar penelitian bahwa jamur indigenus Riau (Penicillium sp. PN6) mampu menurunkan konsentrasi TPH pada tanah terkontaminasi minyak bumi, maka jamur ini beserta tumbuhan legum akuatik diharapkan juga dapat menurunkan konsentrasi TPH dari lumpur minyak bumi (oil sludge). Penggunaan legum akuatik untuk mengurangi bahan pencemar di perairan telah banyak dilakukan, diantaranya legum air Neptunia oleracea pada limbah cair pupuk untuk mengurangi kadar amoniak, tumbuhan akuatik lain seperti Ipomoea aquatica pada limbah cair rumah tangga untuk mengurangi kadar logam berat Pb dan gulma terestrial Amaranthus spinosus pada limbah oli bekas untuk menurunkan konsentrasi PAH dengan pengukuran TPH.

 Adapun jamur yang berperan sebagai berikut

ASaccharomyces cerevisiae

File:Saccharomyces cerevisiae 400x img428.jpg - Wikimedia Commons 

f

Bioremediasi didefinisikan sebagai penggunaan organisme hidup, terutama mikroorganisme, untuk mendegradasi pencemar lingkungan yang merugikan ke tingkat atau bentuk yang lebih aman. Proses bioremediasi ini dapat dilakukan secara bioaugmentasi yaitu penambahan atau introduksi satu jenis atau lebih mikroorganisme baik yang alami maupun yang sudah mengalami perbaikan sifat (improved/genetically engineered strains), dan biostimulasi yaitu suatu proses yang dilakukan melalui penambahan zat gizi tertentu yang dibutuhkan oleh mikroorganisme atau menstimulasi kondisi lingkungan sedemikian rupa (misalnya pemberian aerasi) agar mikroorganisme tumbuh dan beraktivitas lebih baik. Penggunaan beragam spesies mikroorganisme untuk bioremediasi telah sedemikian luas dan digunakan untuk mengatasi beragam pencemar baik organik maupun anorganik.

Logam berat di dalam air limbah merupakan penyebab pencemaran lingkungan yang potensial. Pencemaran logam berat pada umumnya berasal dari industri penyepuhan logam, tekstil, barang jadi lateks, serta industri lain. Pada proses industri barang jadi lateks digunakan logam berat dalam bentuk ZnO sebagai akselerator proses vulkanisasi karet, sehingga ion Zn2+ terbawa dalam air limbah industri barang jadi dengan konsentrasi mencapai 300 mg/L, sedangkan ambang batas konsentrasi yang diperbolehkan maksimal adalah 2,5 mg/L. Saat ini, pengolahan secara biologis untuk mengurangi ion logam berat dari air tercemar menjadi teknologi alternatif yang berpotensi untuk dikembangkan.

Salah satu di antaranya adalah biosorpsi yang memanfaatkan kemampuan pertukaran ion, pembentukan kompleks, dan penyerapan mikroorganisme untuk menyerap logam berat. Secara umum, keuntungan pemanfaatan mikroorganisme sebagai biosorben adalah (1) biaya operasional rendah, (2) efisiensi dan kapasitas pengikatan logam yang tinggi, (3) meminimumkan terbentuknya sludge, (4) kemungkinan untuk recovery logam, (5) biosorben dapat diregenerasi, (6) bahan bakunya mudah didapat dan tersedia dalam jumlah banyak, dan (7) tidak memerlukan tambahan nutrisi jika menggunakan mikroba yang sudah mati. Salah satu biosorben yang digunakan untuk penyerapan Zn2+ adalah menggunakan biomassa Saccharomyces cerevisiae. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biomassa S. cerevisiae bebas maupun amobil mampu menyerap logam Zn2+ dan menurunkan konsentrasinya dari 250-300 mg/L menjadi 20-50 mg/L.

Saccharomyces cerevisiae sudah banyak diteliti berkaitan dengan potensinya sebagai biosorben dan bioakumulator logam berat (Irma & Panji, 2007), di antaranya karena memiliki persentase material dinding sel sebagai sumber pengikatan logam yang tinggi dan juga biomassa S. cerevisiae mudah diperoleh karena banyak dimanfaatkan pada proses fermentasi. Pemanfaatan biomassa S. cerevisiae untuk penyerapan logam Pb2+ menunjukkan bahwa kurang lebih 86% dari total serapan terjadi pada 10 menit pertama waktu kontak dengan serapan maksimum 33,04 mg Pb/g biomassa. Selain itu,  penyerapan uranium, seng dan tembaga terjadi pada pH optimum 4-5, sedangkan Hadi et al. (2003) telah melaporkan kinetika dan kesetimbangan biosorpsi kadmium oleh sel S. cerevisiae dengan kondisi optimum penyerapan sebesar 35 mg/g sel.

A.   Phanerocheate sp

 Hasil isolasi dari sampel kayu yang sudah mati di hutan Tahura Cangar Kabupaten Malang didapatkan dua isolat jamur pelapuk putih yang diberi nama JPP1 dan JPP2. Masing-masing JPP diisolasi dari jenis substrat (kayu) yang berbeda dan memiliki ciri-ciri badan buah yang berbeda pula. Berdasarkan pengamatan morfologi secara mikroskopis, isolat JPP2 memiliki ciri yang merujuk pada spesies Phanerochaete sp. Berdasarkan  hasil analisis ragam biomassa jamur menunjukkan bahwa perlakuan jenis isolat JPP dan konsentrasi insektisida karbofuran berpengaruh nyata terhadap biomassa jamur pelapuk putih. Rata-rata biomassa JPP1 lebih tinggi dibandingkan dengan isolat JPP2 (Phanerochaete sp.).



Konsentrasi 400 gr/l tidak mengurangi pertumbuhan JPP. Biomassa pada pemberian insektisida karbofuran dengan konsentrasi  400 gr/l lebih redah dibanding pada konsentrasi yang lain menunjukkan bahwa terjadi penghambatan pertumbuhan oleh insektisida karbofuran pada konsentrasi tersebut. Hal tersebut diduga karena suplai  karbon yang berlebihan dari insektisida karbofuran akan menimbulkan efek penghambatan terhadap pertumbuhan.

Hasil analisis persentase hambatan pertumbuhan relatif (HPR) menunjukkan pemberian insektisida karbofuran dengan konsentrasi 100 – 300 gr/L menghasilkan nilai HPR negatif pada kedua isolat JPP, artinya pemberian insektisida karbofuran tidak menghambat tetapi justru meningkatkan petumbuhan JPP. Pemberian insektisida karbofuran pada konsentrasi 400 gr/L menghasilkan nilai HPP positif, sehingga disimpulkan bahwa pada konsentrasi insektisida 400 gr/L terjadi peghambatan pertumbuhan JPP. Menurut Santi (2005) kemampuan jamur pelapuk putih untuk tumbuh pada media yang mengandung insektisida diduga disebabkan karena adanya kemampuan jamur pelapuk putih dalam menghasilkan enzim-enzim ekstraseluler oksidatif sehingga dapat memanfaatkan sumber karbon dari insektisida untuk pertumbuhan jamur.

 



Pada kedua perlakuan isolat JPP (JPP1 dan Phanerochaete sp) kandungan insektisida karbofuran pada media lebih kecil dari pada kontrol. Persentase penurunan kandungan pada semua perlakuan juga positif, artinya terjadi penurunan kandungan insektisida karbofuran pada perlakuan kedua isolat JPP maupun semua konsentrasi insektisida karbofuran dapat disimpulkan bahwa terdapat aktivitas degradasi kandungan insektisida karbofuran oleh jamur pelapuk putih isolat JPP1 maupun Phanerochaete sp. Jamur pelapuk putih mampu mendegradasi insektisida karena mampu menghasilkan enzim ekstraseluler oksidatif seperti enzim lakase yang memiliki peranan dalam mendegradasi warna. Selain itu enzim ekstraseluler oksidatif ini dapat juga mendegradasi senyawa aromatik dan non-aromatik dengan beberapa reaksi oksidasi dengan menggunakan oksigen. Dari hasil penelitian ini belum dapat dipastikan apakah bahan aktif dari insektisida karbofuran tersebut juga terdegradasi oleh aktivitas jamur pelapuk putih. Hal tersebut karena pengukuran dengan spektrofotometer terbatas hanya dapat mengukur tingkat kekeruhannya saja belum dapat mengukur kandungan bahan aktif dari insektisida karbofuran.

A.    Melanotus sp

Jamur Melanotus sp. setelah di isolasikan pada media ligninase, terlihat jamur tersebut membentuk zona bening. Terbentuknya "clearing  zone"  pada  media  merupakan  indikasi awal, bahwa isolat jamur tersebut mempunyai potensi  sebagai  jamur  pendegradasi  senyawa  lignin. Berdasarkan penelitian hasil yang di peroleh antara lain :


Pada tabel tersebut terlihat bahwa jamur Melanotus sp. dapat membentuk zona bening. Artinya jamur Melanotus sp memiliki potensi sebagai jamur pendegradasi lignin dan kemungkinan besar jamur tersebut mampu mensintesis enzim perombak lignin.\

A.    Penicilium sp dan Neptunia oleracea\

Kombinasi N. oleracea dengan jamur Penicillium sp. PN6 mampu menurunkan kandungan TPH dari limbah oil sludge walaupun kemampuannya lebih rendah jika dibanding hanya menggunakan jamur indigenus (Penicillium sp. PN6) saja. Hal ini menunjukkan bahwa jamur indigen mampu bekerja sama dengan tumbuhan dalam menurunkan senyawa toksik hidrokarbon sehingga N. oleracea mampu tumbuh pada semua tingkat pengenceran limbah oil sludge. Namun demikian jika dilihat dari kemampuannya menurunkan kandungan TPH dari limbah, persentase penurunan TPH secara umum lebih tinggi pada perlakuan kombinasi (Penicillium sp. PN6 dan N. oleracea) berkisar 4,61-10,77% dari TPH awal 15,79-17,80 mg/L (dimana kandungan TPH dalam media setelah 3 minggu perlakuan menjadi 15,01-17,39 mg/L) dibanding hanya menggunakan Penicillium sp. PN6 saja, penurunan TPH hanya berkisar 2,32-4,43% (kandungan TPH setelah 3 minggu menjadi 14,09-16,27 mg/L). Hasil penelitian AlJawhari (2014) menunjukkan bahwa, Aspergillus niger mampu meningkatkan persentase penurunan konsentrasi petroleum hidrokarbon sebesar 95% setelah 28 hari, sedangkan kombinasinya dengan A. fumigatus persentase penurunan sebesar 90%, tetapi persentase penurunan konsentrasi petroleum hidrokarbon menggunakan campuran 4 strain jamur (A. niger, A. fumigatus, P. funiculosum dan Fusarium solani) ternyata lebih rendah yaitu hanya sebesar 70%. Hal ini menunjukkan bahwa setiap makhluk hidup memiliki metabolisme yang berbeda terhadap kondisi lingkungan hidupnya.

Penurunan pH pada tiap perlakuan menunjukkan bahwa, terjadi degradasi senyawa kontaminasi yang ada pada limbah diantaranya adalah senyawa alkana. Menurut Rosenberg et al. (1992), alkana adalah komponen yang paling umum dan paling mudah untuk didegradasi. Secara umum proses degradasi alkana adalah melalui tahapan oksidasi terminal yang berubah bentuk menjadi alkohol dan asam lemak. Senyawa tersebut kemudian memasuki jalur ß-oksidasi, mengalami katabolisme dan menghasilkan asam-asam organik seperti asam asetat, asam propionat serta karbondioksida. Pelepasan asam-asam organik inilah yang menurunkan pH limbah oil sludge.

 

Sumber

AI-Jawhari, I. F. H. (2014). Ability of some soil fungi in biodegradation of petroleum hydrocarbon. Journal of Applied & Environmental Microbiology, 2(2), 46-52

Chanif, I., S. Djauhari dan L. Q. Aini. 2015. Uji Potensi Jamur Pelapuk Putih dalam Bioremediasi Insektisida Karbofuran. Jurnal HPT. Vol.3 (2).

Hadi, B., Margaritis, A., Berruti, F., & Bergongnon, M. 2003. Kinetic And Equilibrum Of Cadmium Biosorption By Yeast Cells S. Cerevisiae And K Fragilis. Internat. Journal of Chem. Reactor Engin. 1: 1–16.

Irma, K. dan T. Panji. 2007. Biosorpsi Logam Zn Oleh Biomassa Saccharomyces Cerevisiae. Menara Perkebunan. 75(2): 80–92.

Pamungkas, W. dan I. Khasani. 2010. Peranan Fungi Dalam Akuakultur. Media Akuakultur. 5 (1): 35-36.

Sulistinah, N. 2008. Potensi Melanotus sp. Dalam Mendegradasi Lignin. JurnalBiologi. Vol.

            XII(1):6-8.

Santi, L. P. 2005. Tesis Potensi Sejumlah Isolat Fungi Pelapuk Putih untuk Bioremediasi Herbisida Dalam Tanah. Jurnal Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian.



 

 

 

 

 

Post a Comment

Post a Comment (0)

Previous Post Next Post